Pesan untuk setiap ibu dan ayah

Anakmu suka berdusta ; anda terlalu ketat mengevaluasi perbuatannya. Anakmu tidak punya rasa percaya diri ; anda tidak memberikan dorongan kepadanya. Anakmu lemah dalam bicara ; anda jarang mengajaknya berdialog.

Buka Puasa Bersama

Berbagi buka puasa untuk para santri tahfidz

tanpa judul

Manusia paling ganteng sedunuia yang sedang mengejar cinta

As Syifa Peduli

Assyifa Peduli merupakan lembaga kemanusiaan yang menghimpun berbagai sumber daya untuk melakukan aksi membangun, membina serta melayani sesama.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 24 Maret 2015

"THE IDENTITY SEEKER" by ACE PRODUCTION (SMAIT AS SYIFA) #DQMOVEST2015

Senin, 06 Januari 2014

Zakat Biaya Pendaftaran Naik Haji

Assalamualaikum… Ustad.
Langsung saja, beberapa hari yang lalu ada pertanyaan dari nenak. Begini, beliau awal tahun ini (2010) menjual tanah seharga Rp 40 juta. Beliau ingin naik haji. Karena itu, dibayarkanlah Rp 25 juta untuk DP kuota kursi. Pemberangkatan baru tahun 2013. Sekarang beliau hanya memegang Rp 15 juta. Menurut kiai desa kami, nenek wajib mengeluarkan zakat pada Ramadan 2010 ini. Anehnya, zakat itu hanya dikeluarkan sekali alias tahun depan/berikutnya tidak perlu zakat lagi. Pertanyaannya, apakah memang benar begitu? Mohon penjelasan beserta dalilnya? Kalo memang wajib zakat, berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan? Jawaban ditunggu segera, afwan jiddan wa syukron katsir…. Wassalam…
Wa’alaikum salam wr. wb. Terima kasih atas pertanyaannya Bapak Ridho yang baik.
Zakat merupakan rukun Islam ketiga yang seharusnya dilaksanakan — bersama puasa dan shalat — sebelum menunaikan ibadah haji. Ibadah hají dikenal sebagai ibadah maliyah-badaniyyah, yakni model ibadah yang hanya bisa dilakukan ketika kita memiliki kekuatan fisik dan harta.
Dalam ibadah haji tidak dikenal yang namanya zakat haji. Yang ada bahwa setiap orang mempunyai harta dan telah cukup nishabnya wajib mengeluarkan zakat. Kalau kemudian ada jamaah haji yang hendak berangkat ke tanah suci dihimbau dan mengeluarkan zakat, bukan berarti mereka membayar zakat haji. Mereka sebenarnya membayar zakat sebagaimana ketentuan zakat yang diperintahkan oleh syariat. Siapa pun yang melaksanakan ibadah haji tentu tengah menempuh perjalanan suci. Mereka hendak bertemu Allah di Tanah Suci dengan segala keyakinan dan kesuciannya demi memenuhi panggilan-Nya. Untuk itu, bekal yang harus dipersiapkan sebaiknya bersih, baik niat maupun harta yang digunakan. Firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah (9):103) “
Jelasnya dalam kajian literatur kitab fiqih (baik klasik maupun kontemporer) termasuk dalam dalil-dalil Naqli hampir tidak ditemukan adanya kewajiban zakat haji, yang ada bahwa setiap orang yang memiliki harta kekayaaan senisab atau senilai 85 gram emas maka wajib berzakat.
Asumsi harga emas kini pergram Rp. 350.000 x 85 gram emas= Rp. 29.750.000,- . Sesuai informasi Bapak Ridho, bahwa Nenek bapak tahun ini (2010) menjual tanah seharga Rp 40 juta. Dengan uang tersebut nenek ingin naik haji. Karena harta tersebut sudah cukup nishab (batas minimal berzakat), maka Nenek Bapak wajib berzakat. Rp. 40.000.000 x 2,5% = Rp. 1.000.000,- Kalau calon jamaah haji sudah berzakat, tidak perlu berzakat lagi cukup dengan sedekah saja.
Menurut ulama pembayaran zakat wajib ditunaikan setiap setahun sekali. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: "Tidak wajib membayar zakat sampai sudah berlalu satu tahun" (HR. Abu Dawud). Kecuali harta yang kita miliki tidak cukup nishab, maka tidak wajib berzakat. Demikian halnya dengan harta yang dimiliki nenek Bapak (saldonya Rp. 15.000.000) dikategorikan kurang nishab, dan tidak wajib zakat. Sebab, kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkena kewajiban zakat. Karena ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Tidak wajib zakat kecuali orang kaya" (HR Bukhari)
Dalam Ushul al-Fiqh dikatakan, ’’al-muta’addy afdhal min al-qashir’’(ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain itu lebih utama Ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan sendiri). Ibadah model ini hanya dapat kita rasakan melalui media zakat. Membersihkan harta itu merupakan salah satu syarat ingin menjadi haji mabrur, yang diterima oleh Allah SWT. Kesucian harta harus dijaga karena dalam ibadah haji itu terkandung hikmah adanya kesucian jiwa atau besih dari dosa. Melaksanakan ibadah haji dengan uang yang tidak bersih maka hajinya tertolak.
Ulama menjelaskan bahwa hendaknya jamaah haji mengeluarkan semua zakat hartanya termasuk yang dipersiapkan untuk ONH. Untuk menyucikan harta tersebut, antara lain dengan jalan mengeluarkan zakat. Bagi jamaah haji dalam hal pembayaran zakat adalah merupakan momentum yang sangat baik. Kalau harta bersih dan suci, insyaAllah ibadah haji yang dilaksanakan juga dapat bersih sehingga mampu mengantarkan jamaah haji memperoleh haji mabrur. Kemabruran seseorang setelah menunaikan ibadah haji kiranya dapat dipertahankan dengan segala kesalehan amaliahnya, karena merupakan karunia Allah SWT yang abadi menuju kemuliaan, keunggulan dan keutamaan.
Al-hasil, menurut ulama fiqih tidak ada kewajiban zakat haji, melainkan ada kewajiban bagi setiap muslim yang memiliki harta cukup nishab dengan mengeluarkan zakat harta setiap tahunnya termasuk harta untuk ONH. Sebaliknya, jika harta yang dimiliki kurang nishab maka tidak wajib zakat dan sangat dianjurkan untuk bersedekah. Apalagi kalau ada keinginan nenek bapak untuk menunaikan ibadah haji. Salah satu indikasi haji mabrur adalah dapat memberi manfaat kesejahteraan kepada sesamanya. Maka dengan mengeluarkan zakat, secara langsung setiap jamaah haji telah ikut serta dalam pengembangan kesejahteraan umat. Sebab zakat yang dikeluarkan tersebut dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.
Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.
Muhammad Zen, MA
http://assyifa-peduli.org/index.php/component/k2/item/8-zakat-biaya-pendaftaran-naik-haji

Haruskah Zakat Pakai Ijab Qobul?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya mau bertanya ustadz, apakah memberikan zakat harus ada ijab qobulnya?? karena biasanya saya memberikan zakat secara langsung tanpa melalui BAZ.

Apakah pajak penghasilan yang harus dizakati itu penghasilan bruto atau netto(maksudnya penghasilan dikurangi kebutuhan primer dulu)

Mohon penjelasanya ustadz,

Wassalam.

Terima kasih atas pertanyaan hamba Allah yang budiman.

1. Ijab qabul adalah adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih. Berdasarkan pengertiaan di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ijab qabul adalah suatu yang sengaja dilakukan oleh kedua belah pihak berdasarkan persetujuan masing-masing dan menunjukan kehendak kedua belah pihak.

Ada ulama yang menjelaskan bahwa menunaikan zakat harus terdapat akad penyerahan dan penerimaan zakat (wajib adanya ijab kabul). Jika tidak maka zakatnya dianggap sebagai sadaqah/sunnah saja. ijab qabul zakat hendaknya disebutkan secara jelas yaitu dengan menyatakan: “Aajaraka Allahu fi maa a’thaita wa baraka fi maa abqaita” (mudah-mudahan Allah memberikan pahala pada harta yang telah engkau berikan dan mudah-mudahan pula Allah memberikan keberkahan pada harta anda yang lainnya). Baik itu ditunaikan secara langsung kepada yang membutuhkan atau melalui BAZ/LAZ. Hal inilah yang dijelaskan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam bukunya ”Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu” menyerahkan zakat kepada mustahik langsung atau kepada wakilnya yaitu imam atau petugas zakat (BAZ/LAZ) merupakan rukun zakat.

Ada juga ulama yang menjelaskan bahwa ijab kabul di dalam penyerahan harta zakat sesungguhnya bukan hal yang mutlak menjadi syarat. Sehingga, bila tidak ada ijab kabul dalam zakat, maka zakat itu menjadi sah. Banyak pakar dan penggeliat zakat menjelaskan bahwa pembayaran zakat di masa datang, tak akan dikenali lagi ijab kobul. Jadi, orang tak lagi membaca doa pemberi zakat dan si penerima zakat tak perlu lagi mengucapkan doa penerima zakat sambil bersalaman seperti banyak terjadi di tempat penerima zakat yang dikenal selama ini.

Apalagi di era globalisasi ini kemajuan teknologi yang memberikan kemudahan kepada seseorang untuk beramal harus didorong yang penting niat ikhlas. Jika seseorang berzakat lewat SMS, sesungguhnya dia telah memiliki niat untuk berzakat. Dan ketika diterima oleh amil, maka amil pun menerimanya dan langsung mendoakannya. Karena itu, sah-sah saja berzakat atau berinfak melalui SMS meskipun ijab qabulnya tidak disertai dengan bersalaman antara muzakki dengan amil. Era modern ijab kabul dengan muka ketemu muka, memang sudah tidak dibutuhkan lagi. Sebab sistem ini sudah bisa menggantikan fungsi tersebut. Bahkan dalam jual beli yang sangat memperhatikan masalah ijab kabul, tetap bisa dilakukan secara online atau by phone. Apalagi dalam masalah setoran uang zakat, tentu lebih mudah lagi. Kemudahan transaksi keuangan dan ditopang kemajuan teknologi di berbagai perbankan juga membuat orang mempunyai banyak pilihan sehingga tak perlu bersusah payah dalam membayar zakat.

Justru ulama fiqih menegaskan syah atau tidaknya zakat semuanya tergantung niatnya. Oleh karena itu orang yang membayarkan zakatnya harus dengan niat membayar zakat, baik diucapkan maupun tidak diucapkan secara langsung. Adapun pelaksanaan niat itu ialah pada waktu melaksanakan zakat apakah hamba Allah memberikannya langsung kepada mustahik atau melalui lembaga zakat seperti BAZ/LAZ. Niat itu dengan ikhlas lillahi ta’ala, artinya zakat itu dilaksanakan karena diperintahkan diwajibkan oleh Allah, berharap semoga zakatnya diterima oleh Allah yang dengan sendirinya ia akan mendapat pahala balasan dan penuh keyakinan. Kesemuanya itu berdasar atas Al Qur’an surat Al Bayyinah (98:5): ”Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”.

Bahkan saat berzakat tidak diperkenankan untuk menyebut/menyakiti mustahik “Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut~yebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia”. (QS. Al Baqarah (2) : 264). Jika zakat yang dikeluarkan diniatkan zakat maka menjadi ibadah zakat, tetapi kalau tidak diniatkan untuk zakat maka tidak menjadi zakat sehingga menjadi wajib zakat lagi.

Al-hasil, menurut penulis inti ijab dan qabul yaitu yang menunjukkan keridhaan dan keikhlasan dalam hati saat menyerahkan zakat. Apalagi kemajuan teknologi sangat mudah dipergunakan saat berzakat bisa via sms, kartu kredit, transfer maupun via internet dan sebagainya. Bahkan dalam jual beli yang sangat memperhatikan masalah ijab kabul, tetap bisa dilakukan secara online atau by-phone tanpa ijab qabul. Apalagi dalam masalah setoran uang zakat, tentu lebih mudah lagi. Karena itu, Kalau hamba Allah menyerahkan zakat secara langsung berarti sudah ada ijab dan qabul, namun perlu dipertegas niat hamba Allah dalam berzakat (secara jelas melafalkannya maupun di dalam hati). Menurut ulama fiqih memberikan zakat langsung ke mustahik dinilai syah. Namun pelaksanaan zakat akan lebih afdhal lagi apabila melalui BAZ/LAZ karena akan lebih banyak manfaatnya di samping sebagai syiar Islam.

2. Brutto atau Netto?
Pertanyaan yang kedua dari hamba Allah yaitu pajak penghasilan yang harus dizakati itu penghasilan bruto atau netto? Dalam hal ini, menurut hemat penulis mungkin penanya salah mengetik bukan pajak penghasilan tetapi zakat penghasilan/profesi itu brutto atau netto?

Zakat Penghasilan adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan bila telah mencapai nishab. Mengenai masalah ini ulama berbeda pendapat ada yang lebih berpendapat pada netto dan ada juga yang brutto. Alasan bagi pendukung netto, sebab pada dasarnya zakat baru wajib dikeluarkan setelah dikurangi kebutuhan pokok/kebutuhan primer. Allah berfirman, “dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan (zakatkan). Katakanlah: " yang lebih dari keperluan.” (QS. al Baqarah (2): 219). Model ini biasanya disebut dengan pendekatan netto.

Orang yang menghitung kebutuhan pokoknya terlebih dahulu sebelum berzakat, tidak bisa dipersalahkan, asal hitungannya adalah hitungan yang wajar, seperti pelunasan hutang cicilan bulanan. Tetapi sebagian ulama menganjurkan pendekatan brutto, demi kehati-hatian saja. Oleh karena itu, ulama pendukung ini sangat dianjurkan untuk menghitung zakat dari pendapatan kasar (brutto), untuk lebih menjaga kehati-hatian. Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal meriwayatkan: "Hubairah mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mengeluarkan zakat pemberian yang ia terima sebesar dua puluh lima (25) dari seribu (1000)." Berdasarkan hadits tersebut sahabat Ibnu Mas’ud mengeluarkan zakat secara brutto.

Lebih jelasnya untuk menghitung zakat penghasilan bisa dengan netto atau brutto
• Menghitung dari pendapatan kasar (brutto):
Besar Zakat yang dikeluarkan = Pendapatan total (keseluruhan) x 2,5 %

• Menghitung dari pendapatan bersih (netto):
Pendapatan wajib zakat=Pendapatan total – Pengeluaran perbulan*) x 2,5 %

Keterangan :
*) Pengeluaran perbulan termasuk : Pengeluaran diri, istri, 3 anak, orang tua yg jadi tanggungan dan Cicilan Rumah. Bila dia seorang istri, maka kebutuhan diri, 3 anak dan cicilan Rumah tidak termasuk dalam pengeluaran perbulan.

Alangkah indahnya kalau harta yang sudah cukup nishab menggunakan perhitungan brutto akan lebih utama, di banding dengan netto yang awalnya harta kita cukup nishab kemudian umumnya muzakki mencari-cari alasan biar supaya tidak berzakat, ini yang tidak dibenarkan. Ingatlah saudaraku Allah akan menyiksa hambanya yang enggan berzakat. ” …dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At-Taubah (9): 34).

Al-hasil, zakat secara langsung sebetulnya sudah terlaksana ijab dan qabul, apalagi ijab qabul untuk konteks teknologi modern boleh jadi menjadi hilang, yang terpenting adalah niat penunaian zakat baik secara netto maupun brutto. Semoga dapat dipahami.

Waallahu a’lam
Muhammad Zen, MA
http://assyifa-peduli.org/index.php/component/k2/itemlist/category/2-konsultasi-zakat

Senin, 30 Desember 2013

Memberi pinjaman Allah

           Dalam ajaran islam, memberi  pinjaman kepada orang  yang  membutuhkan merupakan perbuatan mulian dan terpuji. Islam sangat  menghargai sikap tolong-menolong antara sesama, utamanya pada saat-saat terjepit, ketika seseorang menghadapi suatu masalah yang rumit.
Orang-orang terjepit, yang sangat membutuhkan bantuan orang lain, termasuk di dalamnya orang yang sangat membutuhkan pinjaman dapat dikategorikan sebagai orang lemah. Bantuan kepada mereka merupakan sodaqoh yang paling afdhol. Rasulullah bersabda : “pertolongan kepada orang yang lemah adalah sodaqoh yang paling afdhol. “ (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dan Asy-syihab).
Menafsirkan hadits tersebut di atas, sebagian ulama mengatakan bahwa memberi pinjaman kepada orang yang sangat membutuhkan itu pahalanya jauh lebih besar dari pada memberi sodaqoh biasa. Perhitungannya, jika sodaqoh diberi kepada seseorang belum tentu yang diberi itu membutuhkannya. Sementara orang yang hendak meminjam, kebutuhannya sudah nyata. Terhadap orang yang nyata-nyata sangat membutuhkan inilah, umat islam dianjurkan memberikan bantuan dan pertolongan, bias berupa sodaqoh, pinjaman, minimal dorongan moral.
Pada masa sekarang, soal pinjam meminjam ini sudah bergeser. Selain orang-orang yang sangat memerlukannya untuk mempertahankan hidupnya, sebagian besar yang meminjam justru orang-orang yang secara ekonomis cukup mapan. Mereka inilah yang pada masa kini menjadi peminjam di mana-mana dalam jumlah yang sangat besar.
Anehnya, orang-orang yang punya duit lebih suka dipinjam oleh orang-orang yang berpunya dari pada orang-orang yang secara materil sangat membutuhkan. Jika yang dating meminjam sesuatu adalah orang miskin, kebanyakan masyarakat enggan untuk melayaninya. Sekedar membukakan pintu dan mempersilahkan sang tamu masuk kerumah saja sudah enggan, apalagi jika sampai pada taraf memberikan pinjaman. Dalam pikiran mereka, jika orang tersebut diberikan pinjaman, apakah ia mampu mengembalikan? Ada yang secara halus menolaknya. Tapi tak jarang yang menggunakan kata-kata kasar yang menyinggung perasaan.
Lain halnya jika yang datang orang kaya, berapapun uang atau barang yang hendak dipinjam,  asal masih dalam batas kemampuan, dengan suka rela akan diberikan. Mengapa demikian? Sederhana saja, karena mereka itu yakin bahwa apa yang akan dipinjamkannya pasti akan kembali, bahkan tak jarang mengharap kembaliannya nanti berkembang, sebagaimana layaknya bunga bank. Kredibilitas peminjam menjadi jaminan atas terjadinya transaksi pinjam-meminjam ini. Disini berlaku pepatah lama yang berbunyi :”siapa yang ingin mendapat pinjaman, hendaknya menjadi kaya terlebih dahulu.”
Sebenarnya da tawaran yang sangat menggiurkan bagi siapa saja yang ingin memberi pinjaman. Ada debitur yang sangat bonafit, kaya raya, yang kekayaannya meliputi bumi dan langit seisinaya. Setiap pinjaman pasati akan dikembalikan, tidak hanya sesuai dengan nilai pinjaman itu, tapi akan dilipatgandakan hingga nilainya menjadi tidak terbatas. Dia adalah Alllah SWT yang menunggu setiap saat keikhlasan para kreditur untuk mengucurkan kreditnya.
“barang siapa yang meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Dia akan melipatgandakan (pembayaran) itu baginya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya lah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Baqoroh : 245).
Tawaran Allah yang sangat luar biasa ini belum mendapatkan tanggapan yang serius dari manusia, padahal bonafiditas dan kredibilitas-Nya tidak diragukan. Jika sekedar untuk mengembalikan pinjaman saja, bukan apa-apa dibandingkan dengan kekayaan-Nya yang meliputi langit bumi dan seluruh isinya, termasuk semua manusia dan segala yang dimilikinya.
Sayang, masih banyak manusia yang beluim mengenal persis siapa debitur yang sangat royal dalam mengembalikan setiap kredit yang dikucurkan, baik yang kecil maupun besar. Seandainya manusia kenal dan meyakini-Nya, tentu mereka akan berbondong-bondong memberi pinjaman sebagai deposito, investasi, atau apa saja namanya demi untuk masa depannya yang lebih pasti.
“jika kamu meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, niscaya Dia lipat gandakan (ganjarannya) bagi akamu dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah penerima syukur lagi maha penyantun.” (QS. Al- Taghabun : 17)
Dulu, berabad-abad yang lalu, di pinggiran kota madinah ada seorang petani yang sangat tertarik pada tawaran ini. Kepada utusan yang dating untuk menyampaikan tawaran ini, sang petani menyambutnya dengan penuh antusias. Ia berkata, “aku serahkan kebun kurmaku sebagai pinjaman.” Kepada istri dan anak-anaknya ia kemudian berkata, ”kemasi seluruh barang-barangmu, kita akan pindah. Hari ini kebun ini telah aku serahkan kepada Allah sebagai pinjaman.”
Adegan itu lebih menarik lagi setelah sang istri yang hari-harinya dihabiskan untuk merawat dan memupuk setiap batang kurma di kebun itu dengan tandas berkata kepada sang suami, “saya yakin bahwa transaksimu dengan Allah pasti menguntungkan.” Hari itu juga keluarga petani tersebut meninggalkan kebunnya tersebut yang berisi 600 pohon kurma yang hampir berbuah untuk diserahkan kepada Allah melalui utusan-Nya.
Abu Ad-Dahdah, petani yang beruntung itu tentu tidak sedang berspekulasi. Dengan perhitungan yang tepat ia berharap agarkeuntungan yang lebih besar bisa didapatkan dan dinikmati selama hidup di dunia dan terutama di akhirat nanti. Ia sangat yakin bahwa Allah akan segera menggantikannya dengan yang lebih baik dan lebih banyak dari yang diserahkan. Keluarga petani tersebut yakin bahwa Allah itu maha kaya, tidak butuh apapun dan terhadap siapapun.
“sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku, dan kamu membantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Aku akan menutupi dosa-dosa kamu, dan sungguh Aku akan masukkan kamu kedalam surge-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya.” (QS. Al-Maidah : 12)
Tampaknya keluarga petani yang diceritakan di atas memahami betul arti memberi “pinjama” kepada Allah. Dengan pemahaman yang benar, mereka tidak ragu-ragu lagi menyerahkan kebun kurma yang sudah hampir berbuah untuk berjihad di jalan-Nya.
Petani itu tidak sendirian. Pada permulaan islam, baik ketika rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat, banyak diantara para as-sabiqunal awwalun yang mempunyai sikap dan pandangan yang jernih dalam masah meminjamkan harta kepada Allah. Mereka faham, dan yakin secara penuh bahwa segala yang diserahkan kepada Allah sesungguhnya adalah untuk diri mereka sendiri. Buah dari penyerahan itu tidak lain kecuali utnuk menambah keuntungan bagi dirinya sendiri.
Utsman bin affan adalah salah satu diantara para sahabat yang dikenal sangat dermawan. Hartanya yang melimpah sejak sebelum keislamanya digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan umatnya. Ia tidak egois, yang mementingkan diri sendiri tanpa peduli pada sesamanya. Ia adalah pedagang yang jujur, lurus, dan memperhatikan hak-hak social yang melekat padanya.
Suatu ketika ia melihat ada gelagat sebagian besar pedagang di madinah hendak memonopolo “sembako” dan menjualnya dengan harganya yang tinggi. Sebagai penasihat khalifah Abu Bakar dibidang ekonomi, ia segera mengambil langkah dengan mengirimkan beberapa pedagang untuk memberi sembako keberbagai penjuru untuk mematahkan monopoli pedagang tersebut. Tak terkecuali dia sendiri berangkat dengan bekal yang cukup banyak.
Ketika Utsman datang dari syam dengan membawa dagangan yang sangat melimpah, para pedagang kota datang  mengerumuninya. Terjadilah diantara mereka tawar-menawar yang sangat ketat, tetapi Utsman tidak serta melepaskan harta dagangannya. Kisah selengkapnya diceritakan oleh Ibnu Abbas sebagai berikut :
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar terjadi masa paceklik, dimana bahan-bahan pokok sulit didapatkan. Saat itu Abu Bakar berkata : “ insya Allah, sebelum sore esok hari akan datang pertolongan Allah.”
Pagi keesokkan harinya, kafilah dagang yang dipimpin oleh utsman dating dari syam, maka para pedagang pun mengerumuninya. Dengan kain yang masih melilit di lehernya, utsman keluar menjumpai mereka. Terjadilah tawar-menawar antara utsman dan para pedagang.
“Berapa keuntungangn yang anda tawarkan kepada saya?” Tanya Utsman. “sepuluh menjadi dua belas”, kata mereka. “ada yang menawarkan lebih dari itu?” pinta Utsman. “kalau begitu sepuluh menjadi lima belas,” tawar diantara mereka.
“Ada yang lebih tinggi lagi?” kata Utsman. “siapa yang berani menawar lebih tinggi lagi, sementara semua pedagang madinah sudah berkumpul disini,” kata para pedagang itu keheranan.
“Ada,….. Yaitu Allah! Saya diberinya sepuluh kali lipat, Nah, adakah diantara kalian yang menawar lebih tinggi dari itu?”
Mendengar jawaban itu, para pedagang berlalu, sedangkan Utsman berkata : “Ya Allah, sesungguhnya saya telah memberikan semuanya kepada fakir miskin warga madinah secara Cuma-Cuma, tanpa memperhitungkan harganya.”
Bagaimana dengan kita? Terhadap hal ini Allah berfirman, “Itulah kamu. Kamu diseru supaya membelanjakan (harta) kamu pada jalan Allah, maka diantara kamu ada yang kikir, dan barang siapa yang kikir maka sesungguhnya kekikirannya atas dirinya. Dan Allah maha kaya sedang kamu fakir, dan jika kamu berpaling niscaya. Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, kemudian mereka tidak akan serupa dengan kamu” (Al-Fath : 38).

Minggu, 29 Desember 2013

Santunan dari Bank Saudara


Selasa, 8 Januari 2013, Yayasan As-Syifa Al-Khoeriyyah menyerahkan titipan paket santunan dari Bank Saudara untuk anak-anak yatim.
Sebagai salah satu bagian program CSR nya, Bank Saudara memberikan santunan bagi anak yatim sebanyak 40 paket. Program yang dalam pelaksanaannya dititipkan melalui Yayasan As-Syifa Al-Khoeriyyah langsung disalurkan kepada yang berhaknya. Yayasan As-Syifa Al-Khoeriyyah sendiri sampai saat ini memiliki binaan anak yatim sebanyak 120 orang yang tersebar di beberapa daerah.

Ketua Umum Yayasan As-Syifa Al-Khoeriyyah, H. Abdullah Muadz, secara simbolis mewakili pihak Bank Saudara menyerahkan paket santunan tersebut kepada anak yatim binaan As-Syifa yang dilangsungkan di Gedung TKIT As-Syifa. Pelaksanaan penyerahan santunan tersebut disatukan dengan agenda penyerahan santunan bulanan anak yatim dan pengajian orang tua yatim yang selama ini sudah berjalan secara rutin.

Sementara itu, Ketua Harian Yayasan, Hj. Lulu Luadiawaty mengungkapkan rasa syukurnya atas kepercayaan yang diberikan oleh para donatur anak yatim. Lebih khusus, beliau mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Bank Saudara yang telah turut membantu program sosial Yayasan As-Syifa Al-Khoeriyyah.

Sabtu, 28 Desember 2013

tes