Dalam
ajaran islam, memberi pinjaman kepada
orang yang membutuhkan merupakan perbuatan mulian dan
terpuji. Islam sangat menghargai sikap
tolong-menolong antara sesama, utamanya pada saat-saat terjepit, ketika
seseorang menghadapi suatu masalah yang rumit.
Orang-orang
terjepit, yang sangat membutuhkan bantuan orang lain, termasuk di dalamnya
orang yang sangat membutuhkan pinjaman dapat dikategorikan sebagai orang lemah.
Bantuan kepada mereka merupakan sodaqoh yang paling afdhol. Rasulullah bersabda
: “pertolongan kepada orang yang lemah adalah sodaqoh yang paling afdhol. “
(HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dan Asy-syihab).
Menafsirkan
hadits tersebut di atas, sebagian ulama mengatakan bahwa memberi pinjaman
kepada orang yang sangat membutuhkan itu pahalanya jauh lebih besar dari pada
memberi sodaqoh biasa. Perhitungannya, jika sodaqoh diberi kepada seseorang
belum tentu yang diberi itu membutuhkannya. Sementara orang yang hendak
meminjam, kebutuhannya sudah nyata. Terhadap orang yang nyata-nyata sangat
membutuhkan inilah, umat islam dianjurkan memberikan bantuan dan pertolongan,
bias berupa sodaqoh, pinjaman, minimal dorongan moral.
Pada
masa sekarang, soal pinjam meminjam ini sudah bergeser. Selain orang-orang yang
sangat memerlukannya untuk mempertahankan hidupnya, sebagian besar yang
meminjam justru orang-orang yang secara ekonomis cukup mapan. Mereka inilah
yang pada masa kini menjadi peminjam di mana-mana dalam jumlah yang sangat
besar.
Anehnya,
orang-orang yang punya duit lebih suka dipinjam oleh orang-orang yang berpunya
dari pada orang-orang yang secara materil sangat membutuhkan. Jika yang dating
meminjam sesuatu adalah orang miskin, kebanyakan masyarakat enggan untuk
melayaninya. Sekedar membukakan pintu dan mempersilahkan sang tamu masuk
kerumah saja sudah enggan, apalagi jika sampai pada taraf memberikan pinjaman.
Dalam pikiran mereka, jika orang tersebut diberikan pinjaman, apakah ia mampu
mengembalikan? Ada yang secara halus menolaknya. Tapi tak jarang yang
menggunakan kata-kata kasar yang menyinggung perasaan.
Lain
halnya jika yang datang orang kaya, berapapun uang atau barang yang hendak
dipinjam, asal masih dalam batas
kemampuan, dengan suka rela akan diberikan. Mengapa demikian? Sederhana saja,
karena mereka itu yakin bahwa apa yang akan dipinjamkannya pasti akan kembali,
bahkan tak jarang mengharap kembaliannya nanti berkembang, sebagaimana layaknya
bunga bank. Kredibilitas peminjam menjadi jaminan atas terjadinya transaksi
pinjam-meminjam ini. Disini berlaku pepatah lama yang berbunyi :”siapa yang
ingin mendapat pinjaman, hendaknya menjadi kaya terlebih dahulu.”
Sebenarnya
da tawaran yang sangat menggiurkan bagi siapa saja yang ingin memberi pinjaman.
Ada debitur yang sangat bonafit, kaya raya, yang kekayaannya meliputi bumi dan
langit seisinaya. Setiap pinjaman pasati akan dikembalikan, tidak hanya sesuai
dengan nilai pinjaman itu, tapi akan dilipatgandakan hingga nilainya menjadi tidak
terbatas. Dia adalah Alllah SWT yang menunggu setiap saat keikhlasan para
kreditur untuk mengucurkan kreditnya.
“barang siapa yang
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Dia akan melipatgandakan
(pembayaran) itu baginya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan
dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya lah kamu akan dikembalikan.” (QS.
Al-Baqoroh : 245).
Tawaran
Allah yang sangat luar biasa ini belum mendapatkan tanggapan yang serius dari
manusia, padahal bonafiditas dan kredibilitas-Nya tidak diragukan. Jika sekedar
untuk mengembalikan pinjaman saja, bukan apa-apa dibandingkan dengan
kekayaan-Nya yang meliputi langit bumi dan seluruh isinya, termasuk semua
manusia dan segala yang dimilikinya.
Sayang,
masih banyak manusia yang beluim mengenal persis siapa debitur yang sangat
royal dalam mengembalikan setiap kredit yang dikucurkan, baik yang kecil maupun
besar. Seandainya manusia kenal dan meyakini-Nya, tentu mereka akan
berbondong-bondong memberi pinjaman sebagai deposito, investasi, atau apa saja
namanya demi untuk masa depannya yang lebih pasti.
“jika kamu meminjamkan
kepada Allah suatu pinjaman yang baik, niscaya Dia lipat gandakan (ganjarannya)
bagi akamu dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah penerima syukur lagi maha
penyantun.” (QS. Al- Taghabun : 17)
Dulu,
berabad-abad yang lalu, di pinggiran kota madinah ada seorang petani yang
sangat tertarik pada tawaran ini. Kepada utusan yang dating untuk menyampaikan
tawaran ini, sang petani menyambutnya dengan penuh antusias. Ia berkata, “aku
serahkan kebun kurmaku sebagai pinjaman.” Kepada istri dan anak-anaknya ia
kemudian berkata, ”kemasi seluruh barang-barangmu, kita akan pindah. Hari ini
kebun ini telah aku serahkan kepada Allah sebagai pinjaman.”
Adegan
itu lebih menarik lagi setelah sang istri yang hari-harinya dihabiskan untuk
merawat dan memupuk setiap batang kurma di kebun itu dengan tandas berkata
kepada sang suami, “saya yakin bahwa transaksimu dengan Allah pasti
menguntungkan.” Hari itu juga keluarga petani tersebut meninggalkan kebunnya
tersebut yang berisi 600 pohon kurma yang hampir berbuah untuk diserahkan
kepada Allah melalui utusan-Nya.
Abu
Ad-Dahdah, petani yang beruntung itu tentu tidak sedang berspekulasi. Dengan
perhitungan yang tepat ia berharap agarkeuntungan yang lebih besar bisa
didapatkan dan dinikmati selama hidup di dunia dan terutama di akhirat nanti.
Ia sangat yakin bahwa Allah akan segera menggantikannya dengan yang lebih baik
dan lebih banyak dari yang diserahkan. Keluarga petani tersebut yakin bahwa
Allah itu maha kaya, tidak butuh apapun dan terhadap siapapun.
“sesungguhnya jika kamu
mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku, dan
kamu membantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya Aku akan menutupi dosa-dosa kamu, dan sungguh Aku akan masukkan kamu
kedalam surge-surga yang mengalir sungai-sungai didalamnya.” (QS. Al-Maidah :
12)
Tampaknya
keluarga petani yang diceritakan di atas memahami betul arti memberi “pinjama”
kepada Allah. Dengan pemahaman yang benar, mereka tidak ragu-ragu lagi
menyerahkan kebun kurma yang sudah hampir berbuah untuk berjihad di jalan-Nya.
Petani
itu tidak sendirian. Pada permulaan islam, baik ketika rasulullah masih hidup
maupun setelah beliau wafat, banyak diantara para as-sabiqunal awwalun yang
mempunyai sikap dan pandangan yang jernih dalam masah meminjamkan harta kepada
Allah. Mereka faham, dan yakin secara penuh bahwa segala yang diserahkan kepada
Allah sesungguhnya adalah untuk diri mereka sendiri. Buah dari penyerahan itu
tidak lain kecuali utnuk menambah keuntungan bagi dirinya sendiri.
Utsman
bin affan adalah salah satu diantara para sahabat yang dikenal sangat dermawan.
Hartanya yang melimpah sejak sebelum keislamanya digunakan sepenuhnya untuk
kesejahteraan umatnya. Ia tidak egois, yang mementingkan diri sendiri tanpa
peduli pada sesamanya. Ia adalah pedagang yang jujur, lurus, dan memperhatikan
hak-hak social yang melekat padanya.
Suatu
ketika ia melihat ada gelagat sebagian besar pedagang di madinah hendak
memonopolo “sembako” dan menjualnya dengan harganya yang tinggi. Sebagai
penasihat khalifah Abu Bakar dibidang ekonomi, ia segera mengambil langkah
dengan mengirimkan beberapa pedagang untuk memberi sembako keberbagai penjuru
untuk mematahkan monopoli pedagang tersebut. Tak terkecuali dia sendiri
berangkat dengan bekal yang cukup banyak.
Ketika
Utsman datang dari syam dengan membawa dagangan yang sangat melimpah, para
pedagang kota datang mengerumuninya.
Terjadilah diantara mereka tawar-menawar yang sangat ketat, tetapi Utsman tidak
serta melepaskan harta dagangannya. Kisah selengkapnya diceritakan oleh Ibnu
Abbas sebagai berikut :
Pada
masa kekhalifahan Abu Bakar terjadi masa paceklik, dimana bahan-bahan pokok
sulit didapatkan. Saat itu Abu Bakar berkata : “ insya Allah, sebelum sore esok
hari akan datang pertolongan Allah.”
Pagi
keesokkan harinya, kafilah dagang yang dipimpin oleh utsman dating dari syam,
maka para pedagang pun mengerumuninya. Dengan kain yang masih melilit di
lehernya, utsman keluar menjumpai mereka. Terjadilah tawar-menawar antara
utsman dan para pedagang.
“Berapa keuntungangn
yang anda tawarkan kepada saya?” Tanya Utsman. “sepuluh menjadi dua belas”,
kata mereka. “ada yang menawarkan lebih dari itu?” pinta Utsman. “kalau begitu
sepuluh menjadi lima belas,” tawar diantara mereka.
“Ada yang lebih tinggi
lagi?” kata Utsman. “siapa yang berani menawar lebih tinggi lagi, sementara
semua pedagang madinah sudah berkumpul disini,” kata para pedagang itu
keheranan.
“Ada,….. Yaitu Allah!
Saya diberinya sepuluh kali lipat, Nah, adakah diantara kalian yang menawar
lebih tinggi dari itu?”
Mendengar jawaban itu,
para pedagang berlalu, sedangkan Utsman berkata : “Ya Allah, sesungguhnya saya
telah memberikan semuanya kepada fakir miskin warga madinah secara Cuma-Cuma,
tanpa memperhitungkan harganya.”
Bagaimana dengan kita?
Terhadap hal ini Allah berfirman, “Itulah kamu. Kamu diseru supaya
membelanjakan (harta) kamu pada jalan Allah, maka diantara kamu ada yang kikir,
dan barang siapa yang kikir maka sesungguhnya kekikirannya atas dirinya. Dan
Allah maha kaya sedang kamu fakir, dan jika kamu berpaling niscaya. Dia akan
mengganti kamu dengan kaum yang lain, kemudian mereka tidak akan serupa dengan
kamu” (Al-Fath : 38).